Menolak Mengikuti The Fed Cs, BoJ Tahan Bunga Meskipun Inflasi Meningkat

BoJ Tahan Bunga Meskipun Inflasi Meningkat
BoJ Tahan Bunga Meskipun Inflasi Meningkat
BoJ Tahan Bunga Meskipun Inflasi Meningkat

Bank of Japan (BoJ) memutuskan untuk kembali mempertahankan suku bunga acuannya, meski tingkat inflasi melonjak dan mencapai posisi tertinggi sejak 1982. Apa penyebabnya?
Sejak pecahnya perang Rusia-Ukraina pada 24 Februari, telah merugikan perekonomian negara-negara di seluruh dunia. Membuat harga energi dan pangan melonjak menyebabkan tingkat inflasi naik.

Sama seperti negara-negara lain di dunia, Jepang juga mengalami inflasi yang tinggi. Jepang mencatatkan inflasi inti sebesar 3,6% secara tahunan (year-ons-year/YoY) pada Oktober 2022, naik dari 3% YoY pada bulan sebelumnya.

Bacaan Lainnya

Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi, inflasi merupakan yang tertinggi sejak Februari 1982, sejalan dengan kenaikan harga bahan makanan dan bahan baku di tengah melemahnya yen.

Inflasi juga di atas ekspektasi para ekonom yang memproyeksikan 3,5% YoY. Catatan itu juga makin menjauhkan Jepang dari target inflasi 2% tahun ini.

Ketika tingkat inflasi naik, biasanya membuat bank sentral memutuskan untuk memperketat kebijakan moneternya dengan menaikkan suku bunga acuan untuk menekan tingkat inflasi. Namun, Bank Sentral Jepang (BoJ) melakukan sesuatu yang berbeda.

Hari ini, BoJ telah memutuskan untuk mempertahankan suku bunga rendahnya pada minus (-) 0,1%, dan BoJ akan memperluas kisaran fluktuasi imbal hasil obligasi pemerintah Jepang 10 tahun menjadi plus dan minus 0,5%.

“Penyesuaian ini dimaksudkan untuk meningkatkan fungsi pasar dan mendorong pembentukan kurva imbal hasil secara keseluruhan dengan tetap menjaga kondisi keuangan yang akomodatif,” kata BoJ dikutip CNBC International.

Di antara anggota G-20, Jepang merupakan negara yang belum menaikkan suku bunga acuannya sejak awal pandemi 2020.

Pasca keputusan tersebut, nilai tukar yen Jepang menguat tajam. Pada pukul 10:10 WIB, yen Jepang melonjak 1,91% menjadi 134,26/US$. Meski begitu, secara year-to-date, yen Jepang masih terkoreksi sebesar 15,8% terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Gubernur BoJ Haruhiko Kuroda sebelumnya menegaskan akan tetap berpegang pada kebijakan tersebut untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.

Meskipun BoJ mempertahankan kebijakan moneter yang sangat longgar, pertumbuhan ekonominya masih mengalami kontraksi. Perekonomian Jepang menyusut 0,2% pada kuartal ketiga (Q3) 2022. Ini merupakan revisi setelah Negeri Sakura sebelumnya mencatatkan penurunan sebesar 0,3%.

Menurut data yang dirilis Kantor Kabinet Jepang, Kamis (8/12/2022), ini merupakan penurunan pertama setelah tumbuh 1,1% pada Q2 2022.

“Ini adalah kontraksi pertama dalam perekonomian sejak Q3 2021, di tengah tekanan inflasi global dan penurunan yen,” tulis Trading Economics.

Perekonomian lesu karena biaya impor yang tinggi dan konsumsi swasta yang lemah. Akhir dari pembatasan Covid-19 tidak banyak membantu pertumbuhan.

Selain itu, ekspor Jepang juga terbukti melemah. Tokyo baru-baru ini melaporkan defisit perdagangan sebesar US$15 miliar yang lebih besar dari perkiraan untuk bulan Oktober.

Ekspor naik 25,3%, lebih lambat dari pertumbuhan tahun-ke-tahun 28,9% yang terlihat di bulan September.

Hal ini membuat ekonom senior Jepang di Capital Economics, Marcel Thieliant, memprediksi negara tersebut akan jatuh ke dalam resesi. Diperkirakan akan terjadi tahun depan.

“Kami pikir ekonomi Jepang akan memasuki resesi tahun depan. Resesi sebagian besar akan didorong oleh penurunan ekspor dan juga dengan lebih berhati-hati, yang biasanya Anda lihat ketika ekspor mulai turun,” katanya kepada CNBC.

Thieliant mengatakan bahwa dengan situasi ekonomi saat ini, bank sentral Bank of Japan (BoJ) tidak mungkin menaikkan suku bunga meskipun inflasi di negara tersebut telah mencapai rekor 3,6%, tertinggi dalam 40 tahun dan lebih tinggi dari target BoJ sebesar 2 %.

“Dalam lingkungan itu, akan sangat berani untuk mengetatkan kebijakan moneter,” katanya.

Dengan potensi resesi di tengah ketidakpastian ekonomi, Jepang berencana menerbitkan obligasi pemerintah baru sekitar 35,5 triliun yen atau setara US$ 258,52 miliar untuk anggaran fiskal 2023/2024, demikian dilansir Reuters.

Selain itu, stimulus yang dikeluarkan pada masa pandemi tercatat 1,4 kali lipat dari rencana belanja anggaran semula sehingga membahayakan pencapaian keseimbangan anggaran utama dan pembayaran utang pada tahun anggaran Maret 2026.

SUMBER : CNBC INDONESIA

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *