

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengaku telah memperingatkan pemerintah Indonesia melalui surat resmi tentang kekhawatirannya terhadap RKUHP yang kontroversial sebelum diratifikasi pada Selasa (6/12).
Dalam keterangan resminya, Kamis (8/12), perwakilan PBB di Indonesia tersebut menjelaskan bahwa surat berisi pandangan PBB terhadap RKUHP telah dikirimkan kepada pemerintah Indonesia sebelum disahkan DPR.
Dalam surat tersebut, PBB menyatakan khawatir dengan banyaknya pasal yang diduga melanggar kebebasan dan hak asasi manusia.
Berdasarkan penelusuran CNNIndonesia.com dalam keterangan resmi di situs PBB, surat tersebut dikirim pada 25 November 2022.
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI pun mengaku menerima surat dari PBB 12 hari sebelum RKUHP disahkan DPR RI.
“Ya diterima,” kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri RI Tengku Faizasyah menjawab pertanyaan CNNIndonesia.com terkait surat dari PBB dalam pesan singkat, Jumat (9/12).
Surat tersebut berisi keprihatinan PBB atas pasal-pasal yang berpotensi melanggar hak asasi manusia, mulai dari pembatasan akses aborsi, diskriminasi terhadap perempuan dan anak perempuan, diskriminasi terhadap agama atau kepercayaan, diskriminasi terhadap kelompok seksualitas LGBT, larangan seks di luar nikah, dan hidup bersama, hingga pembatasan kebebasan berekspresi. , meyakini, dan mengasosiasikan.
“Kami menyampaikan keprihatinan yang mendalam atas usulan amendemen Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP),” bunyi surat PBB kepada pemerintah tersebut.
Pasal pertama yang menjadi perhatian PBB adalah soal hukum yang hidup. Saat itu, PBB menyoroti versi draf RKUHP 9 November.
Aturan mengenai living law (cohabitation law) tertuang dalam Pasal 2. Menurut PBB, living law di Indonesia dapat diartikan antara lain hukum adat dan hukum Islam.
Oleh karena itu, ketiadaan daftar resmi hukum hidup di RI dikhawatirkan akan semena-mena menyasar “kelompok rentan dan minoritas”.
Selain regulasi tentang kumpul kerbau atau hidup bersama, PBB juga menyoroti pasal akses aborsi yang akan mengkriminalkan perempuan yang melakukannya dengan hukuman hingga 4 tahun penjara.
Organisasi menganggap bahwa kerangka hukum tidak sejalan dengan standar internasional. Menurut PBB, Indonesia hanya akan membahayakan jaminan kesehatan perempuan dan memperparah ketimpangan jika aturan ini disahkan.
“Kami menyesalkan bahwa kesempatan belum dimanfaatkan untuk proses reformasi untuk menyelaraskan kerangka hukum negara dengan kewajiban hak asasi manusia internasional Indonesia dalam hal hak seksual dan reproduksi perempuan dan anak perempuan,” kata surat itu.
Pasal Kontroversi KUHP Baru RI Disorot PBB
PBB juga menggarisbawahi pasal larangan mengakses alat KB atau kontrasepsi. Pasal 410-211 RKUHP versi 9 November menyatakan bahwa siapa saja yang secara terang-terangan menunjukkan penawaran alat kontrasepsi untuk menyiarkan artikel tentang hal itu dapat dipenjara hingga enam bulan atau denda hingga Rp. 10 juta.
Perserikatan Bangsa-Bangsa menganggap bahwa peraturan tersebut dapat membatasi informasi penting terkait kesehatan. Padahal pemberian dan penerimaan pendidikan seks bebas diatur dalam Pasal 19 UDHR dan Pasal 19 ICCPR.
Oleh karena itu, aturan tersebut hanya akan mendiskriminasi hak untuk memperoleh informasi tentang kesehatan reproduksi, dalam hal ini kontrasepsi.
Di sisi lain, PBB juga menyoroti kriminalisasi seks di luar nikah dan kumpul kerbau. Menurut PBB, peraturan ini bisa digunakan untuk menyasar kelompok LGBT di Indonesia. Terlebih lagi, pernikahan sesama jenis adalah ilegal di Indonesia.
Larangan itu juga dianggap melanggar hak privasi seseorang yang dilindungi oleh hukum internasional.
Tak hanya itu, pasal cabul juga menjadi salah satu perhatian PBB. PBB berpandangan bahwa pasal ini dapat memperburuk kekerasan berbasis gender dan kekerasan terhadap kelompok LGBT.
Selain itu, regulasi terkait kebebasan beragama atau berkeyakinan juga dinilai cukup kontroversial. Ini karena orang-orang dengan kepercayaan minoritas, seperti ateis, dapat dikriminalisasi.
Perserikatan Bangsa-Bangsa juga menaruh perhatian pada pembatasan pendapat dan berekspresi serta berserikat.
Menurut organisasi global itu, beberapa pasal berpotensi mengkriminalisasi jurnalisme, yakni Pasal 263 dan 264, kemudian Pasal 188 yang merupakan kejahatan terhadap ideologi negara, dan Pasal 218-220 yaitu penghinaan presiden dan wakil presiden.
Kemudian Pasal 349-350 tentang penghinaan terhadap lembaga negara dan Pasal 440 tentang pencemaran nama baik.
Rancangan Pasal 256 tentang demonstrasi juga menjadi sorotan, demikian pula Pasal 118-
189 tentang hukuman bagi orang yang menyebarkan ajaran Marxis-Leninis dan orang yang mengikuti ideologi ini.
“Sangat memprihatinkan bahwa kriminalisasi penodaan agama dapat melegitimasi sikap sosial negatif terhadap anggota agama atau kepercayaan minoritas dan mendorong dan mengarah pada tindakan kekerasan terhadap mereka oleh individu yang menganut pandangan agama dan politik yang ekstrem.
m” membaca surat PBB.
Berdasarkan hal tersebut, PBB juga mendesak pemerintah untuk mempertimbangkan kembali RKUHP sebelum diratifikasi. Saat itu, PBB berharap reformasi KUHP sejalan dengan kewajiban HAM internasional Indonesia dan tidak berpotensi kemunduran.
“Kami menegaskan kembali kesediaan kami untuk berbagi keahlian teknis kami dan membantu Indonesia dalam upaya memperkuat kerangka legislatif dan kelembagaan negara, menjamin penikmatan hak asasi manusia bagi semua orang di Indonesia, termasuk hak atas kesetaraan, kebebasan dari diskriminasi, kebebasan berekspresi dan pendapat, hati nurani, agama atau kepercayaan,” pungkas PBB.