

DPR RI dan pemerintah dijadwalkan mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dalam rapat paripurna yang rencananya digelar Selasa (6/12).
Paripurna pengesahan sempat tertunda sejak mendekati akhir masa jabatan DPR periode 2014-2019 karena gelombang aksi ‘dipercepat’, meski masih banyak pasal yang dianggap publik bermasalah atau kontroversial.
Jadwal pengesahan RKUHP paripurna hari ini berlangsung sepekan setelah keputusan tingkat I diambil bersama pemerintah dalam rapat di Komisi I DPR pada 24 November, dan beberapa hari sejak draf resmi diedarkan ke publik jelang akhir pekan lalu.
Sekjen DPR indra Iskandar mengatakan, agenda paripurna yang digelar hari ini mengikuti keputusan Badan Permusyawaratan Dewan (Bamus).
“Sesuai keputusan rapat direncanakan besok [hari ini]. Jamnya sedang dikonsultasikan dengan pimpinan,” kata indra saat dihubungi, Senin (12/5).
Sementara itu, berdasarkan pantauan laman resmi DPR pada Selasa pagi, telah dilakukan Pembahasan/Pengambilan Keputusan Tingkat II RKUHP yang dijadwalkan pada rapat paripurna hari ini.
Selain itu, mata acara lainnya adalah Pembicaraan/Keputusan Tingkat II atas RUU Pengesahan Perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Republik Singapura tentang Kerja Sama Pertahanan dan Pembicaraan/Keputusan Tingkat II Pembuatan RUU Pengesahan Perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Republik Fiji tentang Kerja Sama Pertahanan.
Komisi III DPR sebelumnya telah menyetujui RKUHP dibawa ke paripurna untuk disahkan menjadi undang-undang. Keputusan itu diambil dalam rapat keputusan tingkat I yang digelar bersama pemerintah pada 24 November lalu.
Namun, masih banyak kalangan masyarakat yang melihat bahwa materi dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) masih semrawut dan memuat pasal-pasal yang bermasalah.
Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti menilai rencana pengesahan RKUHP akan merugikan Indonesia sebagai negara hukum dan demokrasi.
Bivitri menilai draf RKUHP masih berantakan dan memuat pasal-pasal bermasalah.
“Jadi yang terjadi adalah rusaknya supremasi hukum dan demokrasi,” kata Bivitri dalam sebuah diskusi di Coffee Shop, Jakarta Pusat (4/12).
Bivitri menyebut beberapa pasal dalam RKUHP bisa dengan mudah dijadikan alat untuk mengkriminalisasi masyarakat.
Berikut beberapa pasal yang dianggap publik bermasalah dan dapat berujung pada kriminalisasi dalam rancangan RKUHP dalam naskah RKUHP terbaru per 30 November 2022 diakses dari laman https://peraturan.go.id/site/ruu-kuhp.html .
- Penghinaan terhadap Presiden
Rancangan RKUHP pasal 218 ayat (1) menyebutkan bahwa barang siapa di muka umum menyerang kehormatan atau martabat presiden dan/atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun atau denda paling banyak Rp. 200 juta.
Kemudian Pasal 218 ayat (2) menyatakan bahwa hal itu tidak berlaku jika perbuatan itu dilakukan untuk kepentingan umum atau untuk membela diri.
Pada bagian penjelasan Pasal 218 ayat (2) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “dilakukan untuk kepentingan umum” adalah melindungi kepentingan masyarakat yang dikemukakan, salah satunya melalui unjuk rasa atau demonstrasi, kritik atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan presiden dan/atau wakil presiden.
Tindakan atau kebebasan berekspresi juga diberi label ‘konstruktif’.
- Pasal Pengkhianatan
Pasal 192 menyatakan bahwa barang siapa melakukan makar dengan maksud agar sebagian atau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia jatuh ke tangan kekuasaan asing atau memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia diancam dengan pidana mati seumur hidup. penjara, atau penjara paling lama 20 tahun.
Pasal 193 ayat (1) mengatur bahwa barang siapa melakukan makar dengan maksud menggulingkan pemerintahan diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun.
Sementara itu, Pasal 193 ayat (2) menyebutkan bahwa pemimpin atau pelaku makar diancam dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.
- Penghinaan terhadap Lembaga Negara
RKUHP juga masih mengatur tentang ancaman pidana bagi yang menghina lembaga negara seperti DPR dan Polri. Ketentuan ini dimuat dalam Pasal 349. Pasal ini merupakan delik aduan.
Dalam ayat 1 disebutkan, setiap orang di muka umum dengan lisan atau tulisan yang menghina kekuasaan publik atau lembaga negara dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1,5 tahun. Hukuman dapat ditingkatkan jika penghinaan menyebabkan kerusuhan.
Pasal 350, pidananya dapat ditambah dua tahun jika penghinaan dilakukan melalui media sosial. Sedangkan yang dimaksud dengan kekuasaan umum atau lembaga negara dalam RKUHP adalah DPR, DPRD, Kejaksaan Agung, dan Dewan Perwakilan Rakyat.
POLISI. Institusi ini harus dihormati.
- Demo Kejahatan Tanpa Pemberitahuan
Rancangan RKUHP juga memuat ancaman pidana atau denda bagi penyelenggara aksi unjuk rasa tanpa pemberitahuan. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 256.
Artikel ini dikritik karena dapat dengan mudah diedit
kriminalisasi dan menekan kebebasan berpendapat. Koalisi masyarakat sipil mengatakan, dalam praktiknya polisi kerap mempersulit izin unjuk rasa.
- Berita Palsu
RKUHP mengatur penyiaran, dan penyebarluasan berita atau pemberitahuan yang diduga palsu. Artikel ini dapat menargetkan pers atau pekerja media.
Dalam Pasal 263 Ayat 1 dijelaskan bahwa barang siapa menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan padahal dia mengetahui bahwa berita atau pemberitahuan itu palsu yang mengakibatkan huru-hara dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun atau denda paling banyak Rp. 500 juta.
“Barangsiapa menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan, padahal diketahuinya bahwa berita atau pemberitahuan itu palsu yang mengakibatkan kericuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori V,” berbunyi Pasal 263 Ayat 1.
Kemudian pada alinea berikutnya dikatakan bahwa barangsiapa menyiarkan atau menyebarluaskan berita atau pemberitahuan, padahal patut diduga bahwa berita itu bohong dan dapat memicu kerusuhan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 atau denda sebesar Rp. 200 juta.
Lebih lanjut, RKUHP terbaru juga memuat ketentuan penyiaran berita yang dianggap tidak pasti dan berlebihan. Seseorang yang membuat dan menyebarkan berita dapat dipenjara selama 2 tahun atau denda hingga Rp 10 juta. Hal ini tercantum dalam pasal 264.